Mungkin feed Instagram kalian sempat ramai dengan instalasi ruang kaca dan ada lampu bulat-bulat kecil warna-warni. Tak lain dan tak bukan itu adalah Infinity Mirrored Room-nya Yayoi Kusama yang dipamerkan di Museum MACAN. Sebelum bercerita lebih banyak tentang pameran yang sedang berlangsung, tidak ada salahnya menceritakan sedikit pameran pertamanya. Museum MACAN adalah sebutan tenarnya, singkatan dari Museum of Modern and Contemporart Art in Nusantara. MACAN yang ini bisa dibilang aumannya terdengar ke seluruh penjuru dunia nyata dan dunia maya. Hehe

Sebelum membicarakan hal-hal yang kasatmata seputar pamerannya, mari kita tilik dulu apa yang ingin disampaikan oleh Museum MACAN dari kehadirannya sejak akhir tahun 2017 lalu. Kalau kalian sudah datang ke Museum MACAN, tertulis jelas di bukletnya bahwa mereka berdedikasi untuk mendukung pendidikan interdispliner dan pertukaran budaya. Hal itu terlihat jelas lewat kehadiran pameran-pameran rutin, juga diskusi dan selalu ada tempat tersendiri untuk pendidikan seni.

Menurutku kehadiran Museum MACAN itu seperti angin segar bagi dunia seni Indonesia maupun Indonesia dalam arti luas. Keseriusan mereka untuk pendidikan seni bagi masyarakat, patut diacungi jempol. Apalagi di Indonesia, di mana bidang seni dan budaya itu masih di-nomor-sekian-kan dan dirasa tidak penting bagi masyarakat secara umum. Ga percaya? Coba aja lihat kurikulum sekolah yang dibuat pemerintah. Atau, berapa banyak yang ingin kuliah seni dan budaya dan tidak diperbolehkan karena tidak menjanjikan? Padahal pembelajaran seni dan budaya itu juga penting, baik pendidikan umum ataupun secara khusus. Dalam seni dan budaya, kita bisa menemui banyak perbedaan (interpretasi, pemikiran dan lain-lain), tapi gagasan itu bisa bertemu secara tidak brutal karena saling apresiasi. Cocok ga sih buat Indonesia yang semakin ke sini semakin sulit menerima perbedaan?

Wujud nyata keseriusan Museum MACAN dalam pendidikan seni salah satunya terlihat lewat kunjungan anak-anak sekolah dasar negeri ke museum. Mereka diajak berkeliling melihat karya-karya yang dipamerkan, dengan panduan langsung dari pihak Museum MACAN. Anak-anak ini diajari juga bagaimana harus bersikap dalam mengapreasi karya seni. Itu mungkin terlihat sebagai hal kecil, tapi tahukah kalian, kalau sejak kecil seseorang sudah sering terpapar seni dan budaya, tingkat apresiasi mereka terhadap hal tersebut ketika sudah dewasa, juga akan lebih tinggi. Di kunjunganku yang kedua, aku bertemu dengan rombongan anak-anak dan seneng aja ngeliatnya.

Rombongan anak-anak sekolah menengah

Fungsi lain seni dalam hidup kita itu dihadirkan oleh Museum MACAN dalam ekshibisi pertamanya yang berjudul “Art Turns. World Turns. – Seni Berubah. Dunia Berubah.” Yak! Kita bisa melihat perkembangan dunia lewat seni. Seniman menggambarkan masa kehidupannya dan mereka menjadikan seni sebagai cara bagi masyarakat untuk melihat dunia sekitarnya dengan perspektif yang berbeda.

Pameran pertama ini adalah sebuah refleksi tentang hubungan Indonesia dan dunia dalam kurun waktu kurang lebih 200 tahun. Jadi kayak belajar sejarah ya. Tapi belajar sejarah dengan cara menyenangkan. Museum MACAN membagi ceritanya jadi 4 bagian: Bumi, Kampung Halaman, Manusia; Kemerdekaan dan Setelahnya; Pergulatan Seputar Bentuk dan Isi serta Racikan Global. Untuk kalian yang tidak terlalu mengerti tentang seni rupa (aku pun), datang ke pameran ini jadi menambah ilmu dan punya gambaran tentang perkembangan seni rupa di Indonesia.

Pertama, kita dibawa ke karya-karya yang dibuat pada zaman kolonial dan senimannya berasal dari Eropa dan Asia Tenggara. Termasuk karya Raden Saleh, pelukis kenamaan Indonesia. Bagian ini menceritakan bagaimana seni membentuk sebuah gagasan visual yang spesifik mengenai alam dan keadaan di Indonesia. Cara pandang seniman asing pun juga mempengaruhi bagaimana seniman kita melihat negaranya.

Baca juga:  #NgobrolKelola Ngobrolin Seni Budaya

Kantor Pos Jawa (1879) – Raden Saleh

Selanjutnya, kita dibawa untuk menjelajahi karya-karya yang lahir pada masa pasca Perang Dunia II dan proklamasi kemerdekaan. Dilihat dari masa pembuatannya, karya dalam area Kemerdekaan dan Setelahnya ini, memunculkan tema nasionalisme yang menginspirasi masyarakat dan banyak menampilkan kehidupan keseharian masyarakat. Para seniman penting pada masa ini adalah S. Sudjojono dan kelompok Persagi. Dengan semakin matangnya kedaulatan negara, bermunculan seniman yang mengembangkan gaya dan perhatian yang berbeda, seperti abstraksi dan bentuk tidak realis. Seniman yang muncul antara lain Affandi, Hendra Gunawan dan Sudjana Kerton. Dalam prosesnya, para seniman masa-masa ini berusaha mencari gaya yang lebih menunjukan ciri khas Indonesia.

Ngaso (1964) – S. Sudjojono

Di bagian Pergulatan Seputar Bentuk dan Isi, ditampilkan karya sekitar tahun 1960an dan 1970an. Di masa ini, seniman Indonesia sudah mulai berinteraksi dengan dunia global melalui program hibah yang didapatkan. Para seniman berusaha membangun identitas artistik dan memunculkan perbedaan, yang terlihat lewat Mahzab Bandung (abstrak) dan Mahzab Yogya (realis). Mereka dipengaruhi juga oleh keadaan dunia karena perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Nama-nama yang muncul antara lain adalah Srihadi Soedarsono, Mark Rothko, Djoko Pekik dan Luo Zhongli. Secara global, tidak terlalu jelas perbedaan antara abstrak dan realis. Hal ini bisa dilihat dalam dunia seni rupa Indonesia seputar tahun 1980an yang mengutamakan penciptaan citraan. Seniman yang muncul pada masa ini antara lain Heri Dono, Gerhard Richter dan Andy Warhol.

Potrait of Madame Smith (1974) – Andy Warhol

Sejarah penting negeri ini selanjutnya adalah masa reformasi. Masa ini menghadirkan keleluasaan berpendapat secara artistik yang akhirnya menghadirkan karya yang lebih beragam. Seniman zaman ini fokus pada pernyataan pribadinya lewat bahasa visual, dengan menampilkan kedekatan dengan budaya dan latar belakang asal mereka. Karena keragamannya itu, jadi seperti racikan bercita rasa global, seperti judulnya Racikan Global.

Selain memberikan ilmu seputar seni rupa lewat konsep pamerannya, yang patut diapresiasi lagi dari Museum MACAN adalah keseriusan mereka dalam menerapkan pendidikan langsung di lapangan. Untuk yang sudah berkunjung, kalian pasti tahu betapa ketatnya peraturan kunjungan, mulai dari kedatangan sesuai tiket, tata tertibnya jelas, bapak-bapak sekuriti juga rajin sekali untuk mengingatkan pengunjung yang belum begitu mengerti untuk bersikap, variasi tur dan lokakarya yang beragam, sampai detil kecil seperti keterangan karya untuk anak. Yas! Keterangan untuk anak itu lebih mudah dimengerti bahkan untuk orang dewasa sekalipun. Hehe.

Pameran pertama ini aku datangi 2 kali, yang pertama pas weekend bareng temen-temen dan lainnya di hari biasa waktu evaluasi Magang Nusantara dari Yayasan Kelola. Suasananya jelas berbeda. Pas weekend rame banget, sampai untuk menikmati karya aja harus bergantian dengan mereka yang sibuk foto-foto.

Keriaan akhir pekan bersama Arum dan Chessy

Mereka yang sibuk foto-foto

Harus diakui itu adalah salah satu kesuksesan Museum MACAN, yaitu menjadikan seni sebagai hal yang populer. Strategi ini bagus untuk situasi di Indonesia, walaupun tetap ada resikonya. Kehadiran pengunjung yang membludak dan pengen ikut-kutan karena ke-instragamable-an pamerannya, untungnya dibarengi dengan kesinambungan pendidikan di lapangan. Perpaduan ini bagus untuk seni di ranah populer. Semakin banyak masyarakat yang terpapar tentunya semakin baik, karena bisa memperpanjang sumbu orang-orang, di tengah maraknya kemunculan masyarakat yang bersumbu pendek. Hehe. Pameran Museum MACAN yang kedua juga sudah dibuka dan langsung hits banget! Pameran ini akan dibahas di artikel selanjutnya ya. Terima kasih sudah membaca!

Share: